Sunday, April 12, 2009

Masih adakah kereta ke Jawa?

Masih adakah kereta ke Jawa?

Sore itu pesawat Singapore Airline dengan nomor penerbangan SQ 178 mendarat di bandara Ho Chi Minh City, Vietnam. Setelah menyelesaikan urusan imigrasi maka semua kru dijemput dengan mobil perusahaan menuju pangkalan feri menuju Vung Tau. Dari bandara menuju pangkalan feri melewati kota Ho Chi mInh yang dulu dikenal dengan nama Saigon. Masih terasa bangunan-bangunan tua peninggalan penjajahan Perancis. Masih jelas jejak-jejak sisa perang Vietnam peninggalan Amerika. Di kota yang sepeda motor menjadi alat transportasi utama ini mulai tampak geliat ekonomi setelah negara Vietnam membuka diri dari kungkungan faham ekonomi komunisme.

Feri cepat dari Ho Chi Minh menuju Vung Tau membelah sungai Saigon. Sungai ini sangat terkenal dengan lobsternya. Nama sungai inipun meroket di film-film perang antara Amerika-Vietnam. Di dalam feri yang memungut ongkos $10 ini tampak bersih dan bertempat duduk kelas bisnis. Sepanjang perjalanan hanya ditemui kapal-besar yang berlabuh, nelayan dan gubuk-gubuk miskin di pinggiran sungai.

Kurang dari dua jam feri sudah merapat di dermaga kecil di di Vung Tau dan mobil perusahaan sudah menunggu kedatangan kami. Mobil segera membawa kami check-ini ke sebuah hotel di pinggiran pantai kota Vung Tau. Kota ini adalah kota minyak seperti halnya Balikpapan di Indonesia. Di kota jika siang penuh dengan pengemis lalu lalang dan jika malam menjelang banyak gadis-gadis belia dengan dandanan sedikit menor menjajakan 'jasa' hanya dengan imbalan 20 dollar Obama. Cafe dan Pub bertebaran se antero kota kecil ini. dan kehidupan malam menandai kota modern bergema sampai dini hari.

Rombongan kami memesan dinner yang terlezat malam plus dengan minuman berakhohol sebagai penghangat. Tak lama kemudian sang manager yang kebetulan berwarga Indonesia datang dan ikut menemani malam malam. Tak lama setelah selesai makan sang manager mengajak kami ke sebuah cafe dan seperti biasa setiap individu bebas menentukan pilihan masing-masing. Mulai dari memesan minuman sampai aktifitas yang tidak layak disuarakan. Seorang gadis yang dari mulutnya tercium bau alkhohol duduk merapat ke arahku. "Dari Indonesia ya..?" sapa gadis belia itu kepadaku. "Iya" jawabku. lalu dia menceritakan masa kecilnya yang dia lalui di penampungan pengungsi manusia perahu di pulau Galang. Ingatanku kembali kepada berita sekelompok manusia perahu yang terdampar di Pulau Galang di wilayah kepulauan Riau. Hingga saat ini perahu dan jejak rekam kehidupan mereka masih terjaga rapi di pulau kecil itu. Setelah perang Amerika - Vietnam usai banyak eksodus warga Vietnam Selatan ke berbagai penjuru dunia. Yang beruntung bisa berlayar ke Amerika, Australia, Vietnam. Yang meninggal dalam pelayaran tak terhitung jumlahnya.

Malampun berganti dan dini hari pun menjelang. Kami bergegas pergi meninggalkan bar dan mencoba untuk memejamkan mata untuk sekedarnya. Entah berapa saat terpejam kami harus bangun dan bersiap menuju helipad. Di helipad kami bertemu dengan seorang perempuan lokal separuh baya. Kuketahui dia bekerja di perusahaan bagian administrasi dan bertugas membagikan tiket dan menyimpan paspor-paspor kami. Meski mata masih susah dibuka sepenuhnya namun terlihat jelas bayang tubuhnya yang bersih dibalut baju tradisonal dan senyumnya yang ramah. Tiba waktunya kru harus meninggalkan kesenangan sesaat menuju tempat kerja di tengah laut.

Lima minggu berlalu hingga hari pergantian atau 'crew change' tiba. Di hari itu akan menghadirkan dua sisi yang saling berlawanan. Ia bagaikan pedang yang bermata dua. Hari itu menjadi begitu indah bagi 'crew' yang meninggalkan tempat kerja dan segera bertemu dengan orang-orang yang paling dicintainya. Sedangkan bagi 'crew' pengganti hari itu adalah awal dari sebuah perjalanan panjang dan akrab dengan besi dan besi. Siklus lima mingguan ini akan menjadi rutinitas para pekerja di remote area seperti platform minyak, pengeboran dan sektor pertambangan. Siklus ini juga selalu mendatangi para TKI / perantau meski masanya yang berbeda. Hari yang berbunga-bunga adalah saat menaiki pesawat menuju tanah air untuk cuti / liburan. dan hari bermuram durja adalah ketika menyadari bahwa masa cuti / liburan sudah di ambang senja. Ini semua dinamika hidup di mana suka dan duka akan setia menghampiri dalam kehidupan.

Dari kejauhan terlihat seekor capung terbang membela birunya angkasa. Makin lama capung itu semakin besar dan suaranya memekakkan telinga. Ia menjelma menjadi burung besi yang menyerupai capung. Detik-detik penantian akhirnya tiba juga. Copper M-12 mendarat dengan mulus di helipad Rig Trident. Wajah-wajah lusuh dan murung seperti kurang tidur menuruni tangga helicopter disambut dengan wajah - wajah suka cita.

Beberapa saat kemudian helicopter terbang membawa sekumpulan wajah suka cita ke sebuah daratan. Sudah bisa dipastikan di daratan wajah-wajah ini akan berpesta pora dengan menyantap hidangan makan siang yang terlezat di negeri ini. Setelah makan siang tidak jarang dijamukan wine baik merah maupun putih. Dari sebuah sudut ruangan sayup-sayup terdengar suara merdu Meggy Z melantunkan lagu "Anggur merah yang slalu memabukkan diri kuanggap belum seberapa.. (jedah sebentar) lalu.....dasyatnya. Bila dibandingkan dengan senyumanmu membuat aku....................... teganya-teganya (entah berapa kali?)". Seseorang sekali-kali menggoyangkan pinggul sambil menirukan gerakan Tika Panggabean "Project Pop" dalam lagu "Ayo goyang duyu. .......hilangkanlah dukamu........ Ayo goyang duyu......... Ayo goyang duyu........"

Sambil menunggu jam keberangkatan kami menyisir pasar untuk sekedar membeli oleh-oleh buat orang tercinta yang sudah merindukan kedatangan kami. Saat - saat seperti ini adalah keindahan yang yang mampu menghilangkan segala duka yang terlampaui. Di hari ini terbentang asa untuk menebar kebahagiaan dengan orang-orang yang dicintai yang setelah sekian lama ditinggalkan. Dengan membayangkan senyum terkulum dari seberang sana maka mulai pakaian hingga makananpun dipilih dan dibungkus rapi untuk dipersembahkan kepada yang tercinta.

Jam terus berputar hingga sebuah mobil siap mengantar kembali ke bandara International. Mimpi indah bersama bidadari dan pramugari terangkai selama dalam penerbangan. Dalam hati seseorang harus siap menghadapi kenyataan bahwa apa yang baru saja dilaluinya bagaikan di dunia maya. Kini ia harus siap menapaki kehidupan yang sebenarnya. Jangan pernah membayangkan setelah pesawat mendarat ada sebuah mobil yang menjemput. Jangan pula dibayangkan ada jamuan makan malam dengan wine seperti di negeri seberang. "Aku harus sabar dan tabah menjalani episode kehidupan yang akan datang. Bukankah ketika aku kecil dulu diajarkan bahwa hidup adalah seperti putaran roda. Terkadang ia di atas terkadang ia di bawah". Bisik seorang pekerja kontrak.

Di Singapore kami berpisah. Ada kru yang terbang ke Amerika dan Eropa. Ada yang ke Goa melalui Mumbai dan ada pula yang ke Serawak, Malaysia. Tentu saja aku memilih pesawat yang ke Jakarta. Pesawat Singapore Airline telah mendarat di bandara International Jakarta. Di bandara yang dikesankan gelap ini harus berhati-hati dengan praktik yang tidak terpuji. Kulihat seorang bule sedang digiring ke sebuah bilik. Tak lama kemudian seorang yang sepertinya TKI juga dituntun menuju bilik di sebelahnya. Entah ada urusan apa dengan mereka. Mudah-mudahan bukan sekedar alasan yang dicari-cari. Alasan yang minta uang sebagai penyelesain terakhir. Ya terkadang anak negeri ini merasa asing di negerinya sendiri.

Setelah melihat jam di tanganku dalam hati berpikir sejenak "Masih adakah kereta ke Jawa?". Menyebut kata Jawa di kota Jakarta adalah identik dengan daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur. Entah mengapa orang-orang Jakarta enggan disebut kalau mereka juga berdiam di Jawa. Meskipun kenyataannya dalam peta Indonesia mereka ini juga bertempat tinggal di pulau Jawa. Aneh kedengarannya tapi itulah kenyataan hidup sehari-hari. Hidup terkadang tidak harus seperti dalam tumpukan text book. Makna kata tidak harus dikembalikan kepada kamus - kamus tebal. Meski harus disadari apa yang dianut dan diyakini masyarakat umum tidak selalu benar. Di sinilah hidup seperti air perlu juga dianut. "Hiduplah mengalir seperti air" adalah sebuah jawaban daripada sibuk beragumentasi atau perang kata - kata.

Bis Patas Jakarta Bandara - Gambir membawaku keluar dari bandara termegah di nusantara itu. Setelah sampai di Gambir aku bisa melanjutkan perjalan ke stasiun Pasar Senen dengan bajaj ataupun Metromini No. 77. Ini sudah menjadi ritual bertahun-tahun lamanya. Di stasiun pasar Senen hanya untuk kereta kelas ekonomi. Calon penumpang dipadati oleh kelas golongan menengah ke bawah. Di sini calon penumpang harus berbagi tempat dengan gelandangan, pedagang asongan, pengamen dan pengemis. Kelas masyarakat yang hanya diambil simpatinya ketika menjelang pemilu. Setelah itu kehidupan mereka tidak beranjak dari kemiskinan. Sengaja aku memilih kereta ekonomi ini karena disamping murah juga berhenti di stasiun dekat tempat tinggalku.

Kereta segera membawaku ke Jawa. Penumpang berjubel dan berbagi peluh dengan pedagang asongan dan pengamen sepanjang perjalanan. Sudah lama aku berakrab ria dan menikmati keadaan seperti apa adanya. Aroma bau yang ditebarkan di dalam ini terkadang membuat otak kehilangan oksigen sejenak. Dari stasiun Pegaden sekelompok pengamen naik ke gerbong. Dengan cepat mereka memasang alat musik dan memainkannya. Isi lagu yang berisi nasehat tentang siksa kubur setelah kematian masih mampu menarik tangan dan pinggul penyanyinya ikut bergoyang. Itulah kehidupan orang - orang pinggiran. Mereka menikmati hidup dengan cara dan dunianya sendiri. Ya musik inilah yang menyelamatkan sebagian besar penduduk negri dari depresi berat akibat himpitan hidup. Pada lagu kedua seseorang berjalan dari penumpang ke penumpang mengarap uang recehan. Kalau tidak ada recehan uang gedean boleh juga begitu batinnya. Tidak sedikit penumpang memberi rokok dan makanan.

Saya hanya berandai-andai kalau ada calon presiden negeri ini kampanye di kereta rakyat ini pasti akan mendulang suara. Misalnya dia akan naik kereta jelata ini dari Jkarta menuju Surabaya. Sepanjang perjalanan akan dia dapati keadaan rakyat yang akan dipimpin dalam keadaan yang sebenarnya. Polos kehidupannya tanpa polesan bedak kemunafikan. Jika melibatkan media meliput pengembaraannya bersalam kaum jelata besoknya akan menjadi healines surat kabar nasional dan berita - berita di televisi. Entah kenapa samopai saat ini para tim sukses tidak melirik ide gila ini. Barangkali dari segi keamanan yang membuat mereka pada ngeri.

Sepur tetap berjalan melintasi Cirebon, Brebes, Tegal dan setelahnya. Saya terlelap tang ada bidadari hadir dalam mimpi. Hanya wajah - wajah polos, penuh penderitaan melintas dalam benak. Di stasiun Babat kereta berhenti. Segera akau meloncat dan kabur dari petugas yang merazia karcis. Sebelum melanjutkan perjalanan saya mapir dulu di warung pojok. pecel sebagai sarapan pagi ketika roda kehidupan berada di bawah.

Setelah cukup kenyang maka perjalanan harus dilanjutkan. Ojek berhenti persis di depan rumah saya. Filosofi bisnis tukang ojek adalah costumer oriented. Dia selalu menomorsatukan konsumen atau penumpang. Konsumen ojek tidak perlu berjalan jauh ke halte pemberhentian atau terminal. Penumpang juga tidak perlu antri untuk check-in. Tukang ojek akan setia menjemput dan menurunkan di mana saja atas permintaan penumpang. Dalam ilmu marketing modern perusahaan selalu dianjurkan untuk menjaga costumer satisfaction. Ilmu marketing modern rupanya meniru gaya marketing tukang ojek.

Sampai di rumah anak istri menyambut dengan suka cita. Setelah berkangen-kangenan sejenak kuberi anak-anak uang untuk membeli jajan sampai ke kampung sebelah. kemudian aku menjalani kehidupan seperti air mengalir. Yesterday it was a dream, today is a gift that's why called a present.

Doha, April 2009.

No comments: