Friday, March 27, 2009

Harga diri

Tidak dipercaya
Kompasiana, Tanggal 23 Maret 2009,
Sore hari saya berangkat ke Singapura. Tiba di Changi, malam hari lebih kurang jam 2000 waktu setempat. Begitu keluar dari pesawat, memasuki terminal, sudah banyak petugas sekuriti airport dengan garis penghalang yang mirip dengan “police line” , menggiring semua penumpang untuk masuk keruangan pemeriksaan keamanan seperti layaknya penumpang yang akan berangkat untuk naik pesawat. Waktu saya tanyakan, ada apa ini ? Petugas sekuriti tidak ada yang mau menjawab selain mengatakan bahwa semua pesawat yang datang dari Jakarta diberlakukan pemeriksaan ulang secara acak di airport Changi Internasional. Dengan sopan mereka mengatakan bahwa pemeriksaan ulang secara acak ini, hanya untuk meyakinkan petugas sekuriti airport bahwa semua penumpang yang datang dari Jakarta tidak membawa barang berbahaya atau membahayakan.
(Petugas bandara Changi Singapore tidak percaya petugas Bandara Cengkareng tentang sistim keamanan bagasi yang berstandar Internasional )
Mari kita simak komentar dari saudari Jasmine berikut ini:
Saya dan suami terbang dg Malaysian Airline dari Australia ke England, transit satu malam di kuala lumpur (sesuai jadwal airline).
Besok paginya mau berangkat ke London, di Airport di imigrasi, petugas meragukan paspor saya, ditanya keluaran mana ( padahal jelas disebutkan tempat pengeluaran, yaitu Sydney), tapi saya jawab juga :”Sydney”, dia tanya lagi, dan saya jawab dg jawaban yang sama,
Petugas itu masih belum puas, dibolak-balik paspor saya itu, karena nggak jelas apa maunya, lalu saya tanya: “what’s wrong with that?” dia nggak jawab, cuma bergumam, dan saya tanya lagi “what’s wrong with that?”, dia nggak jawab,tapi meninggalkan mejanya, dan pergi ke tempat supervisornya, ngomong-ngomong, nggak tahu apa yang diomongin, trus akhirnya dia balik lagi ke meja dan memberikan paspor saya, juga tanpa ngomong apa-apa (mungkin curiga paspor saya palsu?)
Setelah itu kami berjalan ke pesawat, ada petugas (spt satpam) menjaga dan meminta penumpang untuk menunjukkan paspor. Suami saya menunjukkan paspornya (paspor Australia), dia dibolehkan jalan terus, nah gantian saya, petugas itu melihat paspor saya, maka dg lantangnya dia berkata:” Oh paspor Indonesia, langsung dg cekatan mencabut paspor itu dari tangan saya dan mengambil alat dari pinggangnya untuk memeriksa paspor saya (malu sekali menjadi perhatian seluruh penumpang yang antri dibelakang saya), suami saya berhenti menemani saya.
Setelah dia puas akhirnya diberikan paspor itu ke saya lagi, sambil berkata: “Kerja ya.. di Australia?” (petugas itu melihat saya orangnya kurus hitam, ah.. pasti TKI gitu kali yang ada dalam pikirannya), lalu sambil mendekatkan wajah saya ke dia saya jawab: “tinggal disana”, lalu saya ngomel sepanjang jalan masuk pesawat. Sejak itu saya nggak mau lagi naik Malaysian Airline dan nggak akan mau liburan ke Malaysia.
(Pihak bandara Malaysia meragukan paspor terbitan Indonesia)
Postingan ini bisa dilihat selengkapnya pada http://chappyhakim.kompasiana.com/2009/03/25/masih-belum-di-percaya/


Membaca kisah pengalaman tidak menyenangkan sebagai Warga Negara Indonesia di luar negeri memunculkan pertanyaan dalam benak diri ini yang menggumpal sebuncah rasa. Negeri yang terdiri dari 17.000 pulau ini seakan tidak bergema di dunia yang hanya dijung pulau wilayah Indonesia. Keberanian sang Proklamator melawan PBB tidak mampu membuat bangsa lain respek pada anak negeri. Dulu kita terkagum-kagum pada ketokohan Mohamad Hatta, Cokro Aminoto, Agus Salim, Buya Hamka dsb. Kita tahu mereka adalah tokoh yang membumi dan reputasi mereka diakui dunia internasional.
Sepeninggal mereka nusantara seakan kehilangan digdayanya di pelataran dunia bahkan di mata negara sekecil Singapura dan Malaysia. Dua Negara yang dulu tidak berani berpandangan lurus ke depan wajah Indonesia akhir-akhir sering berpolah. Lalu pertanyataan selanjutnuya salahkah mereka??
Warga Negara Indonesia yang hidup dan bekerja di negara timur Tengah sering pula mendengar “pelecehan kecil” . Mulai dari yang menganggap WNI sebagai warga negara lain yang secara tersirat mengandung pelecehan. Kalau kita menyuarakan dengan membusungkan dada bahwa kita dari Indonesia maka kitapun segera mendapat cap sebagai sopir atau pembantu rumah tangga. Tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan sopir dan pembantu sudah barang tentu cap itu tidak mengenakkan. Karena alasan inilah lelaki Indonesia tidak berani mengawini wanita Arab khususnya wanita dari Libanon karena takut ‘hanya’ dianggap sebagai sopir saja. Namun haruskah kita menyalahkan mereka atas persepsi seperti itu. Jangan – jangan dalam kehidupan sehari-hari justru tanpa terasa kita sendiri yang menciptakan persepsi itu.
Terlalu besar kalau tulisan ini mengajak anda untuk mengubah image Indonesia di mata International karena di samping kita bukan siapa-siapa kita juga bukan apa – apa. Seperti mengutip Aa Gym mari mulai dari diri kita, mulai dari yang kecil dan mulai sekarang juga. Kita tidak bisa mengubah pesona Indonesia tetapi kita bisa mengubah pesona diri kita sendiri. Kalau setiap pesona diri memancar keharuman maka pesona keluarga juga memancarkan pesona yang sama. Kalau setiap pesona keluarga sudah terbentuk maka pada akhirnya pesona masyarakat (bangsa) dengan sendirinya akan tercipta.
Di masa sekolah dasar dalam pelajaran bahasa Jawa diajarkan ungkapan ”Ajining raga saka busana ajining diri saka lathi”. Kalimat ini berarti bahwa raga (badan) kita akan dihargai dengan apa yang kita pakai sedangkan harga diri adalah dari ucapan kita. Kalimat ini mengandung pembelajaran bahwa masyarakat akan menghargai secara fisik dengan pakaian yang kita kenakan. Dan seseorang akan menghargai diri kita dari apa yang kita ucapkan. Idealnya manusia adalah selalu menjaga penampilan jasmani dan rokahinya. Selayaknya dalam kehidupan kita menyelaraskan antar kehidupan dunia dan akhiratnya. Pakaian yang sesuai dengan tempat dan suasana di mana kita berada dan ditambah dengan perilaku yang dan perkataan yang baik niscaya akan mengubah cara pandang masyarakat terhadap seseorang.
Dalam perkembangannya ‘busana/pakaian’ tidak berhenti pada baju, celana, sepatu semata namun ‘busana’ meliputi kendaraan, mobile, dan rumah. Sedangkan ‘lathi/lidah’ tidak terbatas hanya pada kata-kata namun ia adalah penjelmaan dari keceradan otak manusia, kedermawanan, kesosialan dan kepedulian kita pada masyarakat.
Kembali harga diri sebagai WNI seyogyanya merenung dan bertanya pada diri sendiri. Sudahkah pemerintah Indonesia menghargai rakyatnya sendiri? Sudahkah para birokrat kita bekerja secara professional? Bagaimana mengharap warga negara lain menghargai WNI kalau di dalam negeri sendiri kita diacuhkan?. Biarlah jawaban ini berlalu seiring dengan berlalunya hiruk pikuk pemilu kita. Selanjutnya mari kita bertanya, sudahkah diri kita menghargai diri sendiri? Bagaimana orang lain menghargai diri kita kalau kita sendiri tidak bisa menghargai diri sendiri?.Untuk menjawab yang satu ini mari kita teriakkan “the value of the body come from a clothes, the self-value come from a tongue”

No comments: